KANON ALKITAB dan TERJEMAHAN ALKITAB

Kanon Alkitab adalah kumpulan kitab yang diyakini memiliki otoritas sebagai Firman Allah dan layak menjadi tolak ukur bagi iman umat.  Kata "kanon" sendiri adalah kata Yunani yang secara harafiah berarti "tongkat pengukur," yaitu tongkat yang dijadikan sebagai standar pengukuran. Dalam konteks Alkitab, "kanon" secara umum dipahami sebagai "daftar" kitab-kitab yang menjadi "standar" atau "aturan" yang bersifat normatif bagi umat. 
Proses penganonan Alkitab atau yang biasa dikenal dengan istilah "kanonisasi" adalah sebuah proses yang berlangsung selama berabad-abad. Proses ini melibatkan diskusi yang rumit mengenai kitab mana yang dianggap berwibawa dan kitab mana yang tidak.  Kitab-kitab yang dianggap berwibawa ini kemudian dikenal dengan istilah "kanonisitas."

Apakah Kanon Alkitab itu?
Kata "Kanon" berarti "standar" atau "aturan".  Ia adalah daftar dari Tulisan-Tulisan yang berwibawa dan diinspirasikan oleh Allah. Agama yang berbeda memiliki kanon yang berbeda.

Dalam Yudaisme, kanon hanya terdiri dari kitab-kitab Perjanjian Lama.

Dalam Kristen Protestan, kanon adalah kumpulan tulisan dalam Alkitab yang terdiri dari 39 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru.

Dalam agama Katolik Roma, kitab-kitab tambahan ditambahkan tahun 1546. Kitab-kitab ini dikenal dengan kitab apocryphal: Tobit, Yudith, 1 and 2 Makabe, Kebijakan Salomo, Ecclesiasticus (Sirakh), dan Barukh. 

Perlu saya tambahkan di sini adalah bahwa kaum Katolik Roma berpendapat bahwa kitab-kitab apocryphal tersebut juga diinspirasikan oleh Allah dan mereka didukung juga oleh kaum Kristen Ortodoks Timur, Koptik dan gereja-gereja Armenian. Gerakan Protestan menolak kitab-kitab apocryphal tersebut.

Orang-orang Yahudi telah membakukan bahwa kitab-kitab yang kita sebut Perjanjian Lama diilhami Allah, sedangkan yang lain tidak. Ketika orang-orang Kristen berhadapan dengan berbagai ajaran sesat, mereka mulai merasakan pentingnya membedakan tulisan-tulisan yang sesungguhnya diilhami Allah dan yang tidak.Dua kriteria penting yang dipakai gereja untuk mengenal kanon (istilah Yunani yang artinya "standar") adalah yang berasal dari para rasul dan tulisan-tulisan yang dipakai di gereja-gereja.

Dalam mempertimbangkan tulisan rasuli, gereja menganggap Paulus sebagai salah seorang rasul. Meskipun Paulus tidak berjalan bersama-sama dengan Kristus, Paulus bertemu dengan Kristus dalam perjalanannya ke Damaskus. Aktivitas penginjilannya yang tersebar luas – yang dibenarkan dalam Kisah Para Rasul – menjadikannya model seorang rasul.

Setiap Injil harus dihubungkan dengan seorang rasul. Dengan demikian, Injil Markus yang dihubungkan dengan Petrus dan Injil Lukas yang dihubungkan dengan Paulus, mendapat tempat dalam kanon. Setelah para rasul wafat, orang-orang Kristen sangat menghargai kesaksian yang ada dalam Injil tersebut, meskipun Injil tersebut tidak mengungkapkan nama rasul yang terkait.
Tentang penggunaan tulisan-tulisan yang dipakai di gereja-gereja, petunjuknya ialah, "Jika banyak gereja memakai tulisan tersebut dan jika tulisan tersebut dapat terus-menerus meningkatkan moral mereka, maka tulisan tersebut diilhami". Meskipun standar ini menunjukkan pendekatan yang agak pragmatis, namun ada juga logikanya di balik itu. Sesuatu yang diilhami Allah akan mengilhami juga para penyembah-Nya; tulisan yang tidak diilhami pada akhirnya akan lenyap juga.

Namun, standar-standar tersebut saja tidak cukup untuk menentukan sebuah kitab sebagai kanon. Banyak tulisan ajaran sesat membawa-bawa nama rasul. Di samping itu, ada gereja-gereja yang memakai tulisan tersebut sedangkan yang lainnya tidak.
Menjelang akhir abad kedua, keempat Injil, Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus sangat dihargai hampir di semua pelosok. Meskipun tidak pernah ada daftar "resmi", gereja-gereja cenderung berpaling pada tulisan-tulisan ini karena dianggap memiliki otoritas spiritual. Para uskup yang berpengaruh seperti Ignasius, Clemens dari Roma dan Polikarpus telah menjadikan tulisan-tulisan ini mendapat pengakuan yang luas. Namun perdebatan masih berlangsung terhadap Ibrani, Yakobus, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Yudas serta Wahyu.

Daftar ortodoks mula-mula, yang disusun sekitar tahun 200, adalah Kanon Muratori Gereja Roma. Daftar ini meliputi sebagian besar Perjanjian Baru seperti yang kita ketahui masa kini, dan menambahkan Wahyu Petrus dan Kebijaksanaan Salomo. Kumpulan yang muncul di kemudian hari telah menghapuskan satu buku dan membiarkan yang lain, namun semuanya itu tetap mirip. Karya-karya seperti Gembala Hermas, Didache dan Surat Barnabas sangat disanjung, meskipun banyak orang enggan mengakui buku itu sebagai tulisan yang diiihami.

Pada tahun 367, Athanasius, uskup Alexandria yang ortodoks dan berpengaruh itu, menulis "Surat Paskah" yang beredar cukup luas. Di dalamnya ia menyebut kedua puluh tujuh buku yang sekarang kita kenal dengan nama Perjanjian Baru. Dengan harapan mencegah jemaatnya dari kesalahan, Athanasius menyatakan bahwa tiada buku lain dapat dianggap sebagai Injil Kristen, meskipun ia longgarkan beberapa, seperti Didache, yang menurutnya, akan berguna bagi ibadah pribadi.
Kanon yang dibuat Athanasius tidak menyelesaikan masalah. Pada tahun 397, Konsili Kartago mensahkan daftar kanon tersebut, tetapi gereja-gereja wilayah Barat agak lamban menyelesaikan kanon. Pergumulan berlanjut atas kitab-kitab yang dipertanyakan, meskipun pada akhirnya semua pihak menerima Kitab Wahyu.
Pada akhirnya, daftar kanon yang dibuat Athanasius mendapat pengakuan umum, dan sejak itu gereja-gereja di seluruh dunia tidak pernah menyimpang dari kebijakannya.

Kanonisasi
Kata 'Kanon' merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Ibrani q?neh, yang secara harfiah dapat diterjemahkan dengan "ukuran" atau "tali pengukur" dan kemudian dalam bahasa Yunani berubah menjadi kan?n dan mendapat makna yang lebih penting: Pada abad ke-2 M kata kanones (bentuk jamak) dipakai sebagai istilah untuk Aturan atau Tata Gereja. Sejak abad ke-4 kata kan?n berarti 'ukuran' bagi iman Kristen. Ketika istilah ini dipakai bagi Alkitab, maka Alkitab dipercayai sebagai 'ukuran' bagi Iman dan Hidup orang Kristen.

Kanonisasi Perjanjian Lama
Secara pasti tidak ada kriteria untuk kanonisitas Perjanjian Lama, meskipun terdapat konsensus di kalangan para ahli yang menyebutkan ada empat hal yang dapat dijadikan sebagai dasar kanonisitas Perjanjian lama, yaitu:[1]
Kanonisitas dikaitkan dengan nubuat
Kanonisitas dikaitkan dengan perjanjian (covenant)
Kananositas Perjanjian Lama diteguhkan melalui rujukan-rujukan Perjanjian Baru terhadapnya
Kanonisitas Perjajian Lama diteguhkan oleh pemakaiannya dalam ibadah yang dilakukan oleh imat Israel.

Kanonisasi Perjanjian Baru
Kanonisasi Perjanjian Baru dimulai sekitar tahun 200. Pada saat itu mulai disusun daftar-daftar kitab suci yang kurang lebih resmi. Misalnya pada tahun 190 di Roma muncul sebuah daftar yang disebut Kanon Muratori. Kanon Muratori merupakan kanon tertua yang disimpan sebagai sebuah fragmen dalam sebuah naskah salinan dari abad VIII. Nama Muratori merupakan nama seorang pustakawan Milano,L.A. Moratori yang menemukan fragmen tersebut dan menerbitkannya pada tahun 1740.[4] Kanon ini berisi daftar kitab-kitab yang dipakai jemaat di Roma dan sejumlah karangan yang dianggap "palsu". Pada tahun 254, Origenes dari Alexandria juga menyusun sebuah daftar kitab. Tahun 303 Eusebius dari Kaisarea juga membuat daftar kitab. Tahun 367, Batrik Aleksandria Atanasius menyusun Alkitab Perjanjian Baru dengan jumlah 27 kitab. Daftar itu kemudian diterima oleh umat di bagian Timur. Sedangkan di bagian barat, umat menerima daftar yang disusun oleh Atanasius. Paus Inosentius I mengirim daftar itu ke Perancis pada tahun 419. Daftar ke 27 kitab itu kembali diperteguh dalam konsili Florence (1441), konsili Trente (1546) dan Konsili Vatikan I (1870).

Kanonisitas Perjanjian Baru
Seperti yang telah disebutkan, penentuan mengenai kitab-kitab mana yang layak dan bisa dimasukkan ke dalam kanon Perjanjian Baru memakan waktu yang sangat lama, akan tetapi ada beberapa hal yang menjadi dasar kanonisitas Perjanjian Baru, yaitu:

Dekat dengan tradisi kerasulan
Diterima secara umum di kalangan jemaat (katolisitas)
Bergantung pada ortodoksi

Kami merasa bersyukur karena Alkitab sudah di terjemahkan dalam berbagai bahasa, terutama bahasa keluarga. Sehingga kami tidak perlu belajar bahasa asing. Kami juga menilai bahwa dengan banyaknya Alkitab yang diterjemahkan dalam bahasa kita ( jawa, madura, batak, bahasa indonesia, sunda, key, bali dll ) benar benar membuktikan bahwa Firman dalam Alkitab adalah benar dan di ilhami oleh Tuhan Allah sendiri. Walaupun banyak pendapat yang justru menyudutkan dengan mengatakan bahwa Alkitab yang sekarang sudah tidak asli atau Alkitab yang sekarang berbeda dengan Alkitab mula mula dll. Tetapi bagi kami nilai dan isi dari Alkitab adalah kebenaran sebagai buktinya adalah anda orang jawa maka anda dapat belajar Alkitab dalam bahasa anda sendiri, sehingga anda benar benar paham. Ada keterbukaan dalam Alkitab sehingga anda yang orang jawa atau orang madura mengerti maksud dari Alkitab. Ada keberanian untuk mengutarakan kebenaran dalam berbagai bahasa. Alkitab adalah kebenaran karena anda tidak perlu belajar bahasa Ibrani, atau anda tidak perlu belajar bahasa arab, atau belajar bahasa asing untuk memahami Alkitab. Pendapat kami adalah kebenaran tetaplah kebenaran walaupun kebenaran itu di wartakan kedalam kegelapan; batu mulia tetaplah batu mulia ( intan ) walaupun batu mulia itu terbuang kedalam comberan. Demikian juga dengan Alkitab adalah kebenaran walaupun diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Untuk membuktikan anda bisa membeli Alkitab dalam bahasa lain di toko buku dan anda bisa bandingkan. Secara text mungkin berbeda tetapi arti dan maksudnya adalah sama. Kita orang indonesia tetapi mengapa dari TK - Sekolah Dasar- SLTP- SLTA hingga perguruan tinggi ada mata pelajaran bahasa indonesia ? Bahasa sehari hari saja masih banyak yang tidak paham apalagi harus memahami bahasa asing ?

Mengapa Alkitab tidak dipertahankan dalam bahasa aslinya saja untuk mengurangi kesalahan penerjemahan? Seringkali ada penerjemahan yang kurang tepat sehingga harus melihat dulu dari bahasa aslinya baru tahu yang dimaksud itu seperti apa. Yang jadi masalah adalah banyak keyakinan yang timbul, yang terkadang menimbulkan kontroversi, padahal ayat tersebut diambil dari ayat berbahasa Indonesia yang artinya kurang begitu tepat kalau dilihat dari bahasa aslinya. Bagaimana bila kasus seperti ini terjadi pada teman-teman seiman yang tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa asli alkitab ?

Sebenarnya penerjemahan Alkitab direstui bahkan didorong oleh Tuhan, Nabi, Imam, Yesus dan para Rasul, karena merupakan tradisi firman Tuhan sendiri. Perlu diketahui bahwa bahasa lbrani berkembang, baik kata-kata, gramatika, maupun kegunaannya, ada kalanya menjadi bahasa `mati' (tidak digunakan dalam percakapan) dan kemudian digunakan sebagai bahasa `hidup' (percakapan). Ketika Perjanjian Lama dalam bahasa lbrani sudah tidak dimengerti umat, Ezra menerjemahkannya ke dalam bahasa Aram (Targum, Neh.8:2-9), kemudian Imam Besar Eliezer merestui dan mengirimkan penerjemah untuk menerjemahkan naskah lbrani PL ke dalam bahasa Yunani (LXX). Ketika hari Pentakosta, Roh Kudus sendiri menerjemahkan firman Tuhan ke banyak bahasa (Kis.2:4), dan PB ditulis dalam bahasa Yunani dan bukan lbrani. Firman Tuhan adalah hidup dan tidak dibatasi bahasa manusia. Bila kita ingin menghindari penerjemahan dan kembali ke bahasa Alkitab, resikonya sama yaitu orang yang mempelajari bahasa asli Alkitab belum tentu mengertinya sama, karena itu lebih baik, sekalipun tidak sempurna, penerjemahan dilakukan oleh kumpulan spesialis yang ahli teologi dan bahasa agar ada keseragaman, dan mempelajari bahasa asli dapat merupakan penambahan pengertian yang saling melengkapi. Terjemahan Alkitab selalu terbuka akan perbaikan untuk lebih memperjelas artinya dan disesuaikan dengan perkembangan bahasa terjemahannya. Kita jangan menjadikan firman Tuhan sebagai mati dalam keterbatasanAlkitab, namun dalam keterbatasannya itu kita menganggapnya cukup untuk membawa kita kepada iman akan Yesus yang adalah Messias dan agar kita hidup dalam Nama-Nya (Yoh. 20:30-31).

Diluar 66 kitab, ada kitab-kitab lain yang tidak dimasukkan dalam kanonisasi. Bagaimana proses kanonisasi tersebut dilakukan ? Apa standar yang digunakan, sehingga bisa memilah ini kitab yang benar, itu kitab yang salah? Apakah kanonisasi yang sekarang masih terbuka terhadap masuknya kitab yang baru ? Misalnya nanti ada temuan arkeologis salah satu kitab masa para rasul, lalu apakah akhirnya kitab tersebut boleh kita tambahkan pada kanon sekarang? Mengapa kita yang protestan tidak menerima kitab-kitab yang termasuk dalam Deuterokanonika dalam Alkitabnya teman-teman kita yang Katolik ?

KANON ALKITAB adalah hasil proses sejarah yang disahkan melalui konsensus para bapa gereja. Dalam hal PL, para Imam Yahudi dan keluarga Masoretlah yang menyusun konsensus kanon lbrani di Jamna (ca-90). Kanon Alkitab tidak dihasilkan oleh pertemuan pemimpin agama tetapi merupakan proses sejarah yang kelihatannya dipimpin Roh Kudus dan baru persidangan pemimpin agama mensahkannya. Demikian juga halnya dengan proses sejarah kanon PB sampai disahkan dalam konsensus para Bapa Gereja. Kanon sudah tertutup dan tidak perlu ditambah lagi, dan bukan kebetulan kalau ucapan rasul Yohanes pada Why. 22:18-21 dijadikan 'Penutup' bukan saja kitab Wahyu tetapi seluruh Alkitab. Umat Kristen tidak menerima deuteronomika Roma Katolik, karena kitab-kitab itu tidak diterima dalam kanon Yahudi dan Yesus juga tidak menggunakannya sekalipun Yesus menggunakan kitab Septuaginta (LXX) yang digunakan di Sinagoge dan oleh umat Kristen pada abad pertama.

Ada beberapa pendapat yang dijadikan doktrin, yang menyatakan Alkitab tidak bisa salah termasuk dalam setiap katanya. Bagaimana menyikapinya ?

Memang dalam sejarah gereja ada pandangan yang disebut sebagai Inerrancy (ketidak bersalahan) Alkitab, ada yang mengatakan tidak bersalah dalam semua hal baik hal iman maupun pengetahuan, ada yang mengatakan tidak bersalah dalam hal-hal iman sekalipun bisa bersalah dalam hal-hal non-iman, bahkan ada yang mengatakan ketidak bersalahan itu pada setiap kata-katanya, dan ada yang menambahkan setidak-tidaknya dalam bahasa aslinya. Bila kita menghayati hakekat Alkitab sebagai firman Allah (yang tidak terbatas) yang diilhamkan kepada manusia (yang terbatas), maka kita tidak perlu mengikat firman Allah yang kekal dengan Alkitab yang terbatas, namun kita juga jangan lari kepada ekstrim lain seakan-akan firman Allah bisa juga dijumpai di luar Alkitab. Alkitab sudah cukup namun harus disadari keterbatasannya sebagai karya sastra manusiawi yang ingin mengungkapkan kebenaran Allah yang tidak terbatas itu, itulah sebabnya kita perlu mempejari teologi agar makin mengerti akan kebenaran Allah yang tidak terbatas di balik keterbatasan manusia itu. Membatasi firman Allah sebagai 'tidak bersalah setiap kata- katanya baik dalam hal iman maupun pengetahuan' merupakan tindakan gegabah karena kekurang pengertian akan hakekat ilham ilahi. Demikian juga doktrin yang menyebutkan seakan-akan 'Alkitab benar setiap kata-katanya dalam bahasa aslinya' itu sama halnya dengan mengakui bahwa terjemahan itu ada salahnya, padahal selama ini gereja dan umat Kristen bertumbuh diatas dasar Alkitab terjemahan!


SUMBER :

Posting Komentar

0 Komentar